Sumut
Satika Simamora SE MM akan menjadi Calon Bupati Tapanuli Utara periode 2024-2029 pada kontestasi Pilkada yang akan dihelat tanggal 27 November 2024, setelah resmi diusung PDI Perjuangan dan PKB.
Wanita yang tak lain adalah istri Mantan Bupati Tapanuli Utara dua periode Dr Drs Nikson Nababan M.Si diketahui memiliki tingkat akseptabilitas yang tinggi di kalangan masyarakat di Kabupaten Tapanuli Utara.
Lantas, banyak juga publik bertanya siapakah sebenarnya Satika Simamora, yang dikenal mampu membangun hubungan yang akrab dan luwes dengan masyarakat, jauh sebelum perhelatan Pilkada dimulai.
Baru usia sebulan, Sang Ayah sudah dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa. Tak lama berselang, Sang Ibu memilih membangun rumah tangga baru. Sejak itu, si bayi perempuan tinggal bersama opung dan saudara-saudara sepupunya. Masa lalu nan penuh sentuhan tangan kakek dan lentik jari seorang nenek. Andil besar kedua opung yang selalu berdoa minta diberkati sebelum beraktivitas.
Di suatu pagi, saat Satika kecil masih dibuai mimpi indah, sang nenek Boru Siagian, tampak kebingungan sendiri. Kebingungan bukan sebab cucu tertuanya belum bangun di saat matahari mulai meninggi. Melainkan, ia yang semula ingin menyiapkan sarapan keluarga, ketika membuka peti beras, ada yang terasa ganjil. Ia mendapati persedian beras dalam peti selalu berkurang.
Kejadian itu tak sekali dua kali terjadi. Keluarga opung memang tergolong mampu di desanya. Ia punya penggilingan padi dan juga ladang yang cukup luas.
Bahkan, mereka beruntung, melalui usaha yang dijalankan dari nol, dapat membantu warga sekitar ikut bekerja beroleh nafkah. Namun, persediaan beras yang kerap berkurang tadi, tetap saja menjadi tanda tanya di kepala opung.
Ia harus mencari tahu mengapa itu terjadi. “Kakek saya orangnya sangat keras, dalam artian memang kakek itu seorang pengusaha yang usahanya dibangun dari bawah dan terbiasa dengan kedisiplinan,” kenang Satika Simamora tentang kakek dan neneknya di masa lalu.
Bagi opung, pasti ada pelanggaran disiplin yang berujung persediaan beras kerap berkurang. Di luar pengetahuannya, ternyata ‘ulah’ Satika sebagai pangkal perkara.
Saya yang ambilin berasnya opung itu dari gudang,”
Mengambil beras opung hanyalah satu dari sekian banyak ‘kenakalan’ Satika saat masih bocil (bocah cilik). Tapi, ia bukan tanpa alasan malakukan hal itu. Bak Robin Hood perempuan, ternyata beras yang diambil itu untuk dibagikan kepada kawan-kawannya yang berasal dari keluarga kurang beruntung
Saya kasih teman-teman yang miskin. Mereka di rumahnya banyak bersaudara, tapi makan saja pun susah. Sering saya melihat mereka memasak nasi dicampur dengan jagung supaya banyak,” tuturnya. Sederet kalimat ini sekaligus mengubah suasana lucu menjadi terenyuh.
Satika kecil, yang hidup relatif berkecukupan bersama kedua opung, tak mampu menahan rasa melihat kenyataan masih ada teman sepermainan Satika yang berada di bawah garis kemiskinan. Empati yang sama juga, sadar tak sadar, pernah ia tampakkan terhadap keluarganya sendiri.
Semisal, niat ingin membantu keluarga, pernah Satika bersama teman-teman mencari kayu bakar sampai ke Tugu Sudjono yang ada di kawasan perkebunan karet Kecamatan Bandar Huluan, Simalungun.
Lokasi mencari kayu bakar cukup berjarak bagi mereka yang tinggal di Kecamatan Pematang Bandar. Apalagi di era 1980 atau 1990-an, keadaan pastinya tak ramah bagi anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Hal tersebut, kerap membuat panik opung Satika. Sepulang mencari kayu bakar, berharap mendapat pujian bisa memenuhi kebutuhan tungku dapur, ia justru kena ‘semprot’ sang opung.
Namanya juga bocil, omelan opung bukannya membuat jera. Ia ulangi kelakuan yang sama di lain hari. Alhasil, tak cukup dengan mulut, opung terpaksa juga pernah memukul Satika. “Waktu itu, saya berontak dalam hati. Orang aku ingin membantu kakek sembari menikmati bermain bersama teman-teman kok,” akunya dengan polosnya.
Satika kecil sungguh tak paham akan kekhawatiran opung bila ia pergi main terlalu jauh dari rumah. Hal serupa, ketika ia juga pernah kena marah sepulang berenang di sungai mencari keong, atau warga setempat menyebutnya kopa.
Persis seperti mencari kayu bakar, dengan bangga ia pulang membawa berember-ember kopa. Berharap usahanya diapresiasi, badannya yang menghitam oleh lumpur sungai, malah ‘diamuk’.
Lama Satika memendam tanya. Mengapa ia yang berniat membantu, selalu kena marah. Padahal, toh kayu bakar yang dicarinya juga dipakai opung untuk memasak. Pun, kopa hasil buruannya juga menjadi pakan ternak bebek peliharaan keluarga. Menginjak dirinya dewasa, baru terjawab. Rasa sayanglah yang membuat opung banyak melarang.
“Ternyata di kemudian hari saya menyimpulkan, kakek malu kalau cucunya ambil kayu bakar dari hutan karet atau kopa di sungai. Sebenarnya mereka menyayangi cucunya,” ucap Satika Simamora, yang sering terpantau ketika aktif menjadi Ketua TP PKK, tidak pernah merepotkan camat dan pegawai saat melakukan kunjungan ke desa- desa, selain hanya memakan mie atau penganan sederhana di warung pinggir jalan bersama sejumlah jurnalis.
Bukti rasa sayang itu nyatanya sudah ditunjukkan nenek. Antara lain, tak lama berselang setelah Satika kena marah, neneknya membelikan baju baru. Begitu terulang beberapa kali. Setiap habis kena hukuman, beberapa hari kemudian ia mendapat hadiah. “Nah, pelajaran itu yang aku ambil dari beliau berdua. Dihajar tapi diberi solusi. Itu yang paling mahal yang kupelajari selama opung hidup membesarkanku,” gumamnya.
Menolong Sesuai Kemampuan
Pelajaran yang pernah diterima dari kedua opung merupakan bekal hidup yang sangat berarti di usia dewasa. “Saya diajarkan berdoa dulu meminta supaya diberkati apa saja yang kita lakukan,” ucapnya melanjutkan kisah masa kecilnya.
Soal kedisplinan yang ditanamkan opung juga bukan tanpa alasan. Sebagai seseorang yang membangun usaha dari nol, kakek terbiasa disiplin. Demikian pula dengan nenek, mengapresiasi tak selalu harus serta merta diberikan. Kalau perlu, tak usahlah cucunya tahu kapan dan mengapa ia memberi hadiah atau baju baru.
Rasa kasih dan tolong menolong juga sejak kecil telah terpatri dalam jiwa Satika. “Ah kalau mau jujur ya, kita orang Batak sekaya apapun pasti akan minta tolong kepada orang lain. Dia bukan saja minta tolong dari segi materi tapi juga dari nasihat dan perhatian,” ungkapnya.
Tapi, keinginan dalam menolong itu harus sesuai dengan batasan-batasan. Baik itu menyangkut diri yang meminta, maupun kita yang memberi. “Nah, saya pernah hadir di tengah orang Batak dengan status sebagai istri bupati. In time saya harus berkhidmat dalam artian orang pada minta tolong sama saya, tapi kan terbatas saya menyanggupinya,” ujar perempuan yang sering membantu warga tidak mampu di daerahnya yang dilakukan secara spontanitas.
Ia lalu menjabarkan maksudnya. Bila orang melihat kita hidup mewah dengan berbagai perhiasan, tentu jadi sulit menolak ketika ada orang meminta tolong. “Kondisi dilematis semacam ini sebenarnya diciptakan oleh kita sendiri.”
Berarti kondisi itu tidak boleh kita ciptakan. Waktu sebagai ibu bupati, banyak orang minta tolong. Nah, kepada mereka saya bilang tunggu ya, tunggu ada rezeki,” cerita pasangan dari Nikson Nababan, Bupati Tapanuli Utara yang telah mengakhiri dua kali masa kepemimpinannya.
Meski saat itu menyandang status sebagai istri orang nomor satu di Tapanuli Utara, namun orang yang meminta tolong akan melihat apa yang ada di dirinya, apa yang dipakai di tubuhnya.
Penampilan perlu, tapi kekayaan yang ada pada hati lebih utama. “Saya nyaman seperti ini dalam berhadapan dengan publik. Saya pikir, untuk apa harta banyak kalau hati saya jahat. Karena menurutku yang paling mewah itu adalah hati kita,” lirih perempuan yang hobi menyanyi ini.
Baginya, menyanyi adalah salah satu cara mengungkapkan perasaan hati. Sedangkan kemewahan hati adalah saat ia mampu memenuhi apa yang pernah ia janjikan. Pernah ia menjanjikan bantuan dalam tempo seminggu ke depan. Sampai waktu yang ditentukan, bantuan itu ia penuhi sesuai yang dijanjikan, sekalipun untuk mendapatkannya ia harus menjual harta benda miliknya.
Sekali lagi, perkara hati ini didapat dari Sang Opung yang selalu mendahulukan hak pekerja penggilingan beras atau petani ladang mereka. Tak sekadar menyediakan lapangan pekerjaan, opung juga pintar memilah-milah siapa saja yang berhak mendapat prioritas bayaran upah. Perhatian utama ditujukan kepada pekerja harian, dengan maksud agar mereka merasa nyaman hingga pada waktunya bisa menjadi pekerja tetap.
“Jadi saya benar-benar memperhatikan. Kebiasaan dan cara kakek saya perhatikan setiap hari. Kesan mengasihi dalam menciptakan lapangan pekerjaan bagi banyak orang, sangat melekat di memori otakku,” kata Satika, peraih penghargaan Upakarti ini menyudahi obrolan
Red ss